Sebagai salah satu wahana pembentuk karakter bangsa,
sekolah adalah lokasi penting dimana para “natioan builders”
Indonesia diharapkan dapat berjuang membawa Indonesia bersaing di kancah
global. Tetapi jika melihat sebuah kenyataan, masih banyak
sekolah-sekolah di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) yang masih
belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia terutama untuk sarana
da prasarana.
SMA N Tamalabang merupakan salah satu dari sekian
banyak sekolah yang terletak di daerah 3T. SMA ini terletak di Desa Kaleb
Kecamatan Pantar Timur Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur (NTT). SMA
ini dikategorikan terletak di daerah 3T karena beberapa hal: (1) akses menuju
kota masih sangat susah, hanya bisa ditempuh dengan jalur laut yaitu
± 4 jam menggunakan perahu motor, (2) belum adanya jaringan
telekomunikasi, dan (3) masih minimnya penerangan.
SMA N Tamalabang juga menjadi tempat pengabdian saya
sebagai guru sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar dan tertinggal atau
biasa disingkat guru SM-3T. Di SMA ini saya banyak sekali mendapatkan
pengalaman mengajar yang sangat berharga dan di artikel inilah saya akan
membagikannya, akan tetapi terlebih dulu saya akan memperkenalkan
diri. Perkenalkan nama lengkap saya adalah Arif Hidayat (23). Saya
adalah guru SM-3T angkatan V dari LPTK UNY. Saya lulusan dari Universitas
Sebelas Maret dengan program studi pendidikan kimia.
Pengalaman mengajar saya sebagai guru
kimia membuat saya harus berpikir keras. Kenapa saya katakan seperti itu,
pastinya kebanyakan orang tahu bahwa kimia adalah mata pelajaran yang banyak
konsep, hitungan, dan praktikumnya. Apalagi jika tidak ada praktikum itu bukan
kimia, seperti masakan yang tidak dibumbui garam. Seperti itulah yang
terjadi sebelum-sebelumnya di SMA N Tamalabang.
SMA N Tamalabang pada
dasarnya mempunyai satu ruang laboratorium IPA. Akan tetapi
sekarang sudah dialih fungsikan sebagai ruang guru, karena SMA ini
belum mempunyai ruang guru. SMA ini sebelumnya juga pernah sekali menerima
bantuan alat dan bahan laboratorium IPA. Akan tetapi dikarenakan tidak adanya
yang merawat dan memelihara lama-kelamaan alat dan bahan tersebut rusak dan
sebagian besar tidak diketahui keberadaanya.
Melihat kondisi seperti itu, tanpa adanya alat dan
bahan praktikum tidak membuat saya patah hati, malah membuat saya menjadi
bersemangat untuk memberikan pembelajaran
praktikum. Pada semester pertama saya berhasil membimbing parktikum
pertama yang berjudul “kepolaran suatu senyawa”. Alat dan bahan yang
dipergunakan merupakan alat hasil modifikasi yang dilakukan
oleh siswa.
Pada awalnya saya memeperlihatkan sebuah video praktikum kepolaran suatu senyawa yang saya unduh di internet ketika saya berada di kota. Setelah itu saya memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat alat modifikasi dari alat tersebut. Ada beberapa jenis alat hasil modifikasi, dan terpilihlah satu alat modifikasi terbaik. Saya sempat terkejut ketika melihat alat yang mereka buat, benar-benar di luar dugaan saya. Mereka bisa membuat sebuah alat modifikasi menggunakan bahan-bahan yang ada di sekeliling mereka.
Pada pelaksanaan parktikum siswa-siswi masih kelihatan
bingung dan canggung melakukan praktikum dikarenakan praktikum ini adalah
praktikum pertama yang mereka lakukan. Tetapi melihat antusias dan semangat
mereka semakin membuat saya bersemangat untuk membimbing mereka praktikum.
Setelah praktikum selesai mereka mempresentasikan hasil praktikum dan membuat
laporan praktikum.
Setelah melihat keberhasilan praktikum pertama semakin
membuat saya lebih bersemangat untuk memperkenalkan kimia melalui praktikum
kepada siswa-siswi SMA N tamalabang. Selama masa tugas saya di SMA ini sudah
ada beberapa praktikum yang berhasil saya bimbing diantaranya : (1) praktikum
kepolaran suatu senyawa, (2) praktikum identifikasi senyawa asam atau basa
dengan indikator alami, (3) praktikum sifat-sifat koloid dalam kehidupan
sehari-hari, (4) praktikum pembuatan tape dari ubi kuning,
(5) praktikum pembuatan tempe dari kacang nasi (tau), dan (5)
praktikum penjernihan air.
Minimnya akan sarana dan prasarana di sekolah-sekolah
daerah 3T seperti SMA N Tamalabang tidak membuat siswa pantang menyerah dalam
belajar. Mereka tidak memandang sarana dan prasarana sebagai kekurangan mereka
melainkan memandang sebagai tantangan yang harus mereka hadapi. Minimnya sarana
dan prasarana juga bukan merupakan hambatan bagi berkembangnya kreatifitas
anak-anak daerah 3T.
No comments:
Post a Comment